Salam Sejahtera Untuk Kita Semua...
Pada kesempatan ini, penulis akan sedikit memaparkan pembacaan atau
penafsiran dari para ahli tafsir
kontemporer terhadap permasalahan Poligami yang kembali hangat dan ramai
diperbincangkan di tanah air beberapa minggu ini.
Langsung saja, kita mulai dengan dalilnya
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. Al-Nisa’ : 3).
Menurut
Nasaruddin Umar, metode tahlili menyimpulkan bahwa ayat diatas bisa
dijadikan legitimasi diperbolehkannya melakukan poligami, yaitu seorang
laki-laki boleh mempunyai istri maksimal empat orang, dengan syarat suami
tersebut mampu berlaku adil dalam memenuhi hak-hak semua istrinya. Akan tetapi,
jika pendekatan yang digunakan dalam membaca ayat ini adalah metode tematik,
maka kesimpulannya bisa jadi akan berbeda dari hasil pembacaan menggunakan
metode tahlili seperti yang disebutkan diatas. Dikarenakan adanya ayat
lain yang seolah-olah memustahilkan keadilan tersebut dapat dipenuhi dengan
baik oleh manusia. Ayat tersebut adalah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ
تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Nisa’ : 129).
Menurut pembacaan Dr.
Nasaruddin Umar, ayat ini dapat dijadikan dasar untuk menolak praktek poligami
atau minimal lebih memperketat pelaksanaan poligami. Syarat poligami adalah
kesanggupan seorang suami untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya, sementara
ayat ini menegaskan ketidakmampuan seorang suami berlaku adil diantara semua
istri-istrinya.
Apalagi kronologis
dan sebab turunnya ayat ini bukan dalam konteks yang sembarangan dalam arti
legitimasi poligami secara mutlak-bebas. Secara kronologis ayat pertama turun
lebih awal usai kekalahan besar umat Islam atas kaum kafir quraisy dalam perang
Uhud, dimana banyak sahabat yang gugur di medan pertempuran hingga berimplikasi
pada menurunnya populasi kuam laki-laki umat Islam semantara populasi janda dan
anak-anak yatim justru bertambah, maka wajar jika poligami pada masa-masa awal Islam
mendapatkan legitimasi yang sah.
Metode tematik
secara umum akan menghasilkan kesimpulan penafsiran yang lebih moderat terhadap
ayat-ayat gender daripada metode tahlili, karena metode ini tidak banyak
melibatkan atau mempertimbangkan budaya Timur Tengah yang cenderung bias gender
dengan memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan. (Umar, 2010 :
262-265).
Dari sini, dapat
kita pahami bahwa setelah mengaplikasikan metode tematik atas ayat-ayat
poligami ini, dengan mengaitkan antara ayat 3 dengan ayat 129 surat al-Nisa’,
maka kesimpulan akhir yang didapat pun akan lebih holistik-komprehensif yang
tentunya lebih dapat mengantarkan pada kesimpulan akhir yang lebih berkeadilan
gender, daripada hasil dari pembacaan dengan metode tahlili yang
terkesan parsial-atomistik karena seolah-olah menafikan petunjuk yang ada pada
ayat lain yang masih bersangkutan dengan pembahasan poligami tersebut.
Selanjutnya, penulis
juga akan sedikit memaparkan pembacaan Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur tentang
masalah poligami dengan pendekatan tematiknya masing-masing, serta penjelasan
tambahan dari Abdul Mustaqim mengenai penafsiran mereka.
Fazlur Rahman
mempunyai pandangan tersendiri tentang masalah poligami. Baginya, poligami
adalah suatu masalah yang secara hukum diakui oleh al-Qur’an, namun menurut
Rahman, al-Qur’an juga secara tegas melakukan pembatasan maksimal empat dan
menggariskan tuntunan penting untuk berlaku adil serta meningkatkan nasib kaum
perempuan (Mustaqim, 2012 : 258)
Setelah melakukan
pembacaan terhadap dua ayat utama yang membahas poligami dalam surat An-Nisa’,
yakni ayat 3 dan 129, Rahman kemudian menyatakan bahwa seolah-olah memang
terdapat kontradiksi diantara kedua ayat tersebut, yakni antara ayat yang
mengizinkan poligami sampai empat dengan tuntutan berbuat adil kepada para
istri dan deklarasi yang tegas bahwa tuntutan itu tidaklah mungkin dapat
diwujudkan oleh manusia. (Rahman, 1996 : 69)
Lebih lanjut, Rahman
menegaskan bahwa cita-cita moral al-Qur’an mengenai ke-legal-an poligami dengan syarat-syarat yang dibebankan atasnya
adalah karena memang mustahil menghapuskan poligami secara legal dengan
sekaligus mengingat poligami sudah begitu mengakar dalam budaya Arab Jahiliyah.
Dari sini, nampak bahwa Rahman sebenarnya ingin mengatakan bahwa poligami
haruslah dihapuskan secara perlahan-lahan namun pasti, kecuali dalam menghadapi
kasus yang sangat darurat. (Rahman, 1996 : 69-70)
Kesimpulan akhir
Rahman adalah bahwa ideal moral dari ayat poligami adalah masalah pentingnya
berbuat adil, penyantunan janda dan anak-anak yatim, dengan cara menikahi ibu
dari anak-anak yatim tersebut. Hal ini tidak terbantahkan lagi karena ayat itu
memang turun dalam kondisi ketika banyak laki-laki yang meninggal dunia akibat
perang yang terjadi hingga berimplikasi pada semakin banyaknya janda dan
anak-anak yatim yang membutuhkan santunan. (Mustaqim, 2012 : 263).
Selanjutnya, akan
dipaparkan pula pembacaan yang dilakukan Muhammad Syahrur atas ayat-ayat
poligami tersebut dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip hermeneutika
takwilnya, dimana seorang mufassir dalam memahami al-Qur’an harus menggunakan
pendekatan tartil, yaitu mengumpulkan ayat-ayat setema untuk mendapatkan
weltanschauung al-Qur’an yang bersifat holistik-komprehensif sehingga
tidak terjebak pada pemahaman yang parsial-atomistik. (Mustaqim, 2012 : 265).
Dengan pendekatan tartil
tersebut Syahrur sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya Islam menganut
prinsip monogami, poligami hanya diperbolehkan jika dalam keadaan darurat.
Dengan tegas Syahrur menyatakan, “Ta’addud az-Zaujat Zhurufun Idhthirariyyah
wa anna asasa al-‘adad fi az-Zawaj huwa al-Wahdah”.
Lebih lanjut, dengan
teori hudud-nya, syahrur membuat dua persyaratan bagi orang-orang yang
hendak melakukan poligami. Pertama, syarat kuantitas atau kammiyyah dimana
batas minimal adalah dua dan maksimal empat. Kedua, syarat kualitas atau
naw’iyyah dimana orang yang hendak melakukan poligami harus ada
kekhawatiran atau ketakutan dalam dirinya tidak dapat berbuat adil, namun dia
tetap harus berusaha untuk dapat berlaku adil, dan bahwa perempuan yang hendak
dipoligami harus berstatus janda serta memiliki anak yatim. Jika syarat-syarat
tersebut tidak dapat dipenuhi, maka seseorang tidak perlu melakukan poligami
dan cukup menikah dengan satu istri saja seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nisa’
ayat 3. (Mustaqim, 2012 : 265-266).
Abdul Mustaqim
sendiri berpandangan bahwa poligami sebenarnya bukan lah tujuan, malainkan
hanya suatu sarana untuk memberikan solusi terhadap salah satu problem sosial
yang terjadi. Oleh karena itu, jika seseorang hendak berpoligami, maka harus
berorientasi pada solusi atas suatu masalah sosial, bukan sekedar “wisata
seksual”. Sebab, pesan dasar al-Qur’an tentang poligami adalah masalah keadilan
dan penyantunan terhadap para janda dan anak-anak yatim. Secara historis,
poligami yang dilakukan Nabi saw sebenarnya juga dalam rangka menyantuni anak-anak
yatim dan perlindungan terhadap janda-janda. Oleh karena itu, jika sekiranya
masalah-masalah sosial tersebut dapat diselesaikan tanpa melalui institusi
perkawinan poligami – misalnya melalui badan-badan sosial atau LSM yang secara
serius menangani masalah ini – maka seseorang tidak perlu melakukan poligami.
Terlebih lagi jika poligami tersebut justru menimbulkan masalah sosial baru
yang disebabkan ketidakadilan suami, baik terhadap para istri maupun
anak-anaknya.
Abdul Mustaqim
menegaskan bahwa substansi dari ayat poligami
adalah prinsip keadilan dan kemaslahatan sosial, bukan ke-legal-an
poligami. Konsep poligami hanyalah salah satu alternatif dan bukan satu-satunya
solusi untuk menangani problem sosial yang ada menyangkut nasib para janda dan
anak-anak yatim. Oleh karena itu, ketentuan poligami sangat mungkin bisa
“diubah” dari yang tadinya diperbolehkan menjadi dilarang mengingat zaman dan
tuntutan kemaslahatannya berubah. Apalagi poligami termasuk kategori masalah
muamalah, dimana melalui ijtihad, akal diberi ruang untuk mencari kemaslahatan
sesuai dengan konteks dan tuntutan zamannya (Mustaqim, 2012 : 266-267).
Semoga Bermanfaat!
Kritik dan Saran silahkan tinggalkan di kolom komentar...
"Pria Besar Tanpa Nama Besar"
Muhammad Khoirul Umam
(Kader GP Ansor Simbangwetan)
Belum ada tanggapan untuk "Poligami dalam Perspektif Ahli Tafsir Kontemporer (Pendekatan Tafsir Tematik)"
Post a Comment