Sosok: Mbah Amir bin Idris Simbang Kulon



“Meneladani Sepak Terjang Luar Biasa Pengurus Nahdlatul Ulama Era Mbah Hasyim Asy’ari”  

1. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Amir bin Idris bin Ahmad Shaleh. Beliau merupakan salah seorang ulama besar indonesia yang berasal dari Mundu, Cirebon. Beliau termasuk dalam jaringan ulama nusantara yang berjuang dan wafat pada permulaan abad 13 Hijriah atau abad 18 Masehi, seangkatan dengan ulama nusantara terkemuka lainnya, seperti Mbah Sholeh Darat Semarang, Syekh Mahfudz at-Turmusi, Syekh Yusuf an-Nabhani, Syekh Khotib Minangkabau, Mbah Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Munawir Jogja, Syekh Jauharuddin Balarante Cirebon dan lain sebagainya.

Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1870 M atau 1287 H, namun menurut sumber yang lain, beliau bisa jadi lahir sebelum tahun 1870, karena beliau dikatakan lebih tua dari Mbah Hasyim Asy’ari yang lahir pada 1871 M. Beliau lahir di Mundu, Cirebon, akan tetapi dibesarkan di Dukuh Lumpur. Beliau mendapatkan pendidikan agama pertama langsung dari sang ayah. Konon sang ayah begitu telaten dalam mendidik Mbah Amir dan saudara-saudaranya hingga hampir setiap hari sang ayah akan mengevaluasi langsung apa yang telah Mbah Amir pelajari hingga benar-benar matang menguasai apa yang diajarkannya.

Setelah baligh, Mbah Amir mulai belajar untuk membantu orang tuanya dalam mennghidupi keluarga. Beliau menghabiskan hampir sepanjang harinya untuk menggembala kerbau di padang rumput yang luas sekitar desa Tawangsari. Akan tetapi, kesibukan tersebut sama sekali tidak mereduksi semangat Mbah Amir dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang belum dikuasainya. Beliau menghabiskan hampir seluruh waktu malamnya untuk belajar. 

Suatu ketika, beliau mulai merasakan kejenuhan dengan rutinitas yang beliau jalani. Akhirnya, beliau memohon kepada sang Ibu agar beliau diizinkan untuk belajar dan mencari ilmu di Tanah Suci Makkah, bahkan beliau menggertak jika permintaannya itu tidak dikabulkan, maka beliau tidak akan pulang kerumah setelah selesai menggembala kerbau di sore hari. Permintaan Mbah Amir itu pun kemudian dikabulkan oleh kedua orang tuanya, beliau diizinkan untuk belajar di Makkah bersama saudaranya, Umar. Diceritakan bahwa kedua orang tua beliau harus menjual beberapa tanah terlebih dahulu yang menjadi lahan pencaharian sehari-hari keluarga mereka sebagai ongkos keberangkatan Mbah Amir dan saudaranya ke Makkah dan bekal untuk mencukupi kehidupan sehari-hari disana.

2. Belajar di Makkah

Ketika belajar di Makkah, Mbah Amir satu angkatan dengan beberapa ulama besar indonesia lainnya, seperti Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang Hasyim Asy’ari dari Jombang, Bagir dari Yogyakarta, Jauhar dari Balerante Cirebon, Masduqi dari Palimanan Cirebon, dan lain sebagainya. Disana beliau belajar dan menjadi murid dari ulama besar Makkah asal Nusantara yakni Syaikh Mahfudz bin Abdillah at-Tarmasi al-Makki. 

Mbah Amir muda mendapat tantangan yang cukup serius dalam menjalani kehidupan intelektualnya di Makkah. Beliau tidak didukung finansial yang memadai dari keluarganya, sehingga beliau kesulitan untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkannya, bahkan untuk makan sekalipun beliau harus benar-benar mengirit kiriman uang dari orang tuanya yang seringkali telat. Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak membuat Mbah Amir patah semangat, beliau kemudian berinisiatif mencoba meminjam kitab-kitab temannya yang sedang menganggur untuk beliau pelajari sendiri.

Ketekunan Mbah Amir dalam belajar di Makkah ditandai dengan terus meningkatnya prestasi beliau. Mbah Amir muda dengan cepat menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan yangdipelajarinya hingga ia bahkan dianggap mempunyai level yang sama dengan para ulama yang lebih senior di Makkah atau satu langkah lebih maju diantara teman-teman sejawatnya.

3. Penulis Kitab Mauhibbah Dzil Fadhol Karya Syaikh Mahfudz At-Turmusi

Diceritakan pada suatu hari, bahwa beliau pernah diuji kemampuannya dalam sebuah majlis yang dihadiri oleh ulama-ulama besar Makkah pada waktu itu, termasuk Syaikh Mahfudz at-Turmusi. Beliau ditantang untuk menerangkan isi dari kitab Fathul Wahab yang imbalannya adalah diangkat menjadi asisten syaikh mahfudz yang mempunyai tugas sebagai pengganti syaikh menjadi guru, khotib maupun imam ketika sang syaikh sedang berhalangan. Dengan kemampuannya yang memang diatas rata-rata, beliau akhirnya mampu menjawab tantangan tersebut dengan sempurna. Barangkali inilah salah satu alasan mengapa Syaikh Mahfudz memilih Mbah Amir sebagai penulis salah satu karya besarnya, yakni Mauhibbah Dzil Fadhol. Selain sebagai seorang yang dikaruniai pikiran yang cerdas dan keilmuan yang mendalam, beliau juga mempunyai bakat dalam bidang tulis-menulis.

4. Menikah dengan Nyai Sukainah Gedongan

Setelah menetap lama di Makkah, beliau kemudian diminta oleh kedua orang tuanya untuk pulang ke Indonesia, karena rencananya beliau akan dinikahkan dengan Nyai Sukainah Gedongan. Mbah Amir pun menyetujui permintaan kedua orang tuanya tersebut, akan tetapi beliau mempunyai satu permintaan agar diizinkan untuk kembali lagi ke Makkah setelah pernikahan tersebut.

Permintaan Mbah Amir untuk kembali lagi ke Makkah akhirnya terwujud setelah beberapa lama menetap di rumah mertuanya dan membantu sang mertua mengurusi Pondok Pesantren yang dipimpinnya disana. Beliau berangkat ke Makkah dengan meninggalkan Nyai Sukainah bersama keluarganya di Gedongan. Hal ini beliau lakukan atas dasar permintaan dari sang mertuanya sendiri agar putrinya tidak ikut serta dibawa ke Makkah. 

Keberangkatannya ke Makkah yang kedua ini diperkirakan satu angkatan dengan beberapa ulama nusantara yang menetap disana, seperti Syekh Hasan Ma’shum Labuhan (w. 1355 H), Syekh Muhammad Jamil (w. 1360 H), Mbah Hasyim (w. 1367 H), Syekh Musthofa Husain (w. 1370 H), Syaikh Sulaiman Ar-Rosuli, Syaikh Abdul Hamid bin Ahmad (w. 1348 H), Syaikh Muhammad Ma’shum bin Ali (w. 1351 H), Syaikh Dimyati bin Abdullah (w. 1353 H), Syaikh Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar (w. 1353 H), Syaikh Husain (w. 1358 H), Syaikh Ahmad Kholil (w. 1358 H), Syaikh Munawwir Jogja (w. 1358 H), Kyai Mahfudz Shiddiq (w. 1363 H), Kyai Sya’ban bin Hasan (w. 1364 H), Kyai Kholil Masyhuri (w. 1366 H), Kyai Ridwan bin Mujahid (w. 1368 H), Kyai Ihsan bin Muhammad Dahlan (w. 1371 H).

5. Guru-Guru Mbah Amir

Kemudian mengenai guru-guru Mbah Amir di Makkah, jika dilihat dari jaringan para ulama yang telah disebutkan diatas, maka kemungkinan besar guru-guru dari para ulama tersebut tidak akan mempunyai perbedaan yang signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa diantara guru-guru Mbah Amir adalah Imam Zaeni Dahlan (w. 1304 H), Syaikh Ahmad Khotib Minangkabau (w. 1334 H), Sayyid Abu Bakar bin Syatho (w. 1310 H), Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Syaikh Mahfudz at-Tarmasi (w. 1338 H), juga tidak ketinggalan ulama-ulama seperti Syaikh Abdussalam Gampar, Syaikh Ahmad Hayat, Syaikh Amin Ridwan, Syaikh Sa’id Babashil, Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad ‘Athorid, Syaikh Umar Bajunaed, dan masih banyak lagi yang lainnya.

6. Menikah dengan R.A. Zahra binti K.H. Shaleh Darat

Dalam perjalanan hidup yang selanjutnya, Mbah Amir kemudian menikah lagi dengan R.A. Zahra binti K.H. Shaleh Darat di Makkah atas permintaan dari Syaikh Mahfudz, yang tentunya juga sudah disepakati oleh sang ayah, Mbah Idris, Kyai Sa’id Gedongan selaku mertua dan Nyai Sukainah selaku isteri yang masih sah. Dari pernikahan ini Mbah Amir kemudian dikaruniai empat orang anak, yakni ‘Aisyah, Abdurrohim, Hasyim dan Asma’ (tiga nama yang disebutkan terakhir meninggal saat masih belia).

Ketika hijaz dikuasai oleh kaum wahabi yang dipimpin oleh Syaikh Sa’ud sekaligus menandakan berakhirnya kekuasaan Syarif Husain, semua orang yang berasal dari luar hijaz dipaksa untuk meninggalkan tanah hijaz secepatnya, dalam hal ini termasuk Mbah Amir yang dengan terpaksa harus meninggalkan tanah Makkah yang sangat dicintainya itu.

Mbah Amir pulang dari Makkah diperkirakan pada tahun 1329 H atau 1909 M. Setibanya di Indonesia, Mbah Amir memilih untuk menetap di tempat sang isteri yang kedua, R.A. Zahro di Desa Darat Kabupaten Semarang. Beliau memutuskan untuk menetap di Semarang dikarenakan, kedua orang tuanya yang tinggal di Lumpur telah wafat (Mbah idris wafat pada tahun 1333 H atau 1913 M), begitu juga dengan mertuanya yang berada di Gedongan yang juga telah wafat.

7. Berdakwah di Simbang Kulon

Setelah sekian lama tinggal di Semarang bersama R.A. Zahro dan anaknya, Mbah Amir kemudian pindah ke Pekalongan atas permintaan dari Mbah Adam, seorang ulama yang terkenal kaya dari Spait, Pekalongan. Mbah adam dengan kelebihan finansialnya yang menjamin kebutuhan hidup dan dakwah Mbah Amir di Pekalongan, bahkan Mbah adam juga menyediakan tempat tinggal dan sebuah pondok pesantren untuk Mbah Amir di desa Simbangkulon sebagai basis dalam penyebar luasan dakwah beliau.

Keadaan sosio-kultural desa Simbangkulon pada akhir abad 18 dan awal abad 19 adalah merupakan sekumpulan masyarakat petani, pengrajin dan pedagang batik yang umumnya masih nihil dalam urusan pengetahuan agama. Perjudian, mabuk-mabukan, sabung ayam adalah sedikit contoh kebiasaan negatif yang melekat pada masyarakat simbangkulon saat itu. Dari sinilah, Mbah Amir dan putra tirinya, Raden Rahmat memulai dakwahnya untuk mengokohkan agama islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin pada masyarakat simbangkulon.

Dengan dibantu oleh istri dan anaknya, juga oleh pembantunya yakni Nyai Soka (murid Mbah Sholeh Darat yang dulunya dikenal sebagai pelacur). Mbah Amir membuka pengajian berbagai disiplin ilmu di pondok pesantrennya yang diadakan setiap hari untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini tentu saja mempunyai dampak besar terhadap perkembangan keilmuan di desa simbang kulon ini. Masyarakat yang dulunya buta agama, kini mulai tercerahkan dan mempunyai pengetahuan yang luas mengenai agama, sehingga moral masyarakat yang dulu nampak memprihatinkan pun telah mengalami perbaikan yang cukup signifikan sejak kehadiran Mbah Amir sekeluarga. Diantara murid-muridnya adalah Nyai Hindun (Ibu dari K.H. Tahrir, K.H. Abdullah dan K.H. Abdul Jalil). Selain itu, semenjak kedatangan Mbah Amir sekeluarga, musholla-musholla banyak didirikan hampir di seluruh lorong dan gang desa, pengajian ramai dimana-mana, pembacaan al-Qur’an, dzikir, dala’ilul khoirot banyak terdengar sepanjang pagi dan sore. Bahkan kini,desa simbangkulon peninggalan Mbah Amir telah dikenal sebagai basis santri karena banyak sekali pesantren dan madrasah besar yang berdiri megah.

8. Murid-Murid Mbah Amir

Kegigihan Mbah Amir dalam menyebarluaskan ilmunya ini dapat dilihat dari cerita yang menyatakan bahwa Mbah Amir mulai mengajar para santrinya di musholla sejak sebelum shubuh samapai selesai sholat isya’. Artinya beliau menghabiskan hampir seluruh waktunya berada di musholla untuk mengajarkan ilmu pada murid-muridnya. Dalam rentang waktu itu dikatakan bahwa beliau tidak makan sama sekali dan hanya minum secangkir air. Maka tidaklah mengherankan, kegigihan Mbah Amir dalam mendidik santrinya ini berimplikasi pada terbentuknya karakter keilmuan ulama besar yang melekat pada diri santri-santrinya. Diantara murid-murid beliau adalah K.H. Muhammadun bin Ali Murtadho, pendiri dan pengajar pondok pesantren Darul Ulum Pondoan Tayu Pati yang merupakan ayah dari K.H. Aniq Muhammadun sekaligus kakek dari Ulil Abshar Abdallah, selain itu adalah K.H. Maemun Luwungragi Brebes, K.H. Thoyib Kertasemaya Inderamayu, Kyai Makhrus pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Kyai Ali Ma’shum pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Kyai Syathori, Arjawinangun, Cirebon, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid dan lain sebagainya.

9. Menikah dengan Nyai Sa’diyah Semarang dan Nyai Sa’adah Benda

Pada tahun 1920 M atau 1339 H, R.A. Zahro meninggal dunia setelah sekian lama hidup mendampingi Mbah Amir. Tak lama setelah itu, Mbah Amir memutuskan untuk menikah lagi dengan Nyai Sa’diyah bin Kyai Sulaiman, Bulu, Semarang (w. 1353 H atau 1934 M). Dari pernikahan dengan Nyai Sa’diyah ini, Mbah Amir dikaruniai 5 anak, yakni Nuriyah, Isma’il, Idris, Sholeh dan Rahmah.

Setelah itu, beliau kemudian menikah lagi dengan Nyai Sa’adah, putri Kyai Amin, Benda, Cirebon. Dari pernikahan ini, lahir dua putri yang bernama ‘Afiyah yang lahir pada tahun 1936 M atau 1355 H dan Khodijah yang lahir pada 1938 M atau 1357 H.

10. Karomah Mbah Amir

Diantara karomah-karomah Mbah Amir adalah menulis ulang persis seperti aslinya naskah mauhibbah dzil Fadhol yang dianggap hilang. Setelah selesai menulisnya ulang, beliau menyerahkan tulisan tersebut kepada Syaikh Mahfudz. Setelah Syaikh Mahfudz mengoreksinya, maka yang beliau dapati memang persis seperti naskah mauhibbah dzil fadhol yang aslinya. Namun, setelah itu Mbah Amir mendapati bahwa naskah yang asli ternyata sengaja disembunyikan oleh Kyai Wahab Hasbullah Jombang yang bergurau sekaligus ingin menguji kecerdasan dan keilmuan Mbah Amir, selain itu juga disebutkan bahwa Mbah Amir pernah bersamaan mengajar ngaji di pondok pesantren beserta sebagian santrinya sekaligus berta’ziyah dan mengimami sholat jenazah Mbah Masduki, Palimanan, Cirebon bersama sebagian santri yang lainnya, sehingga setelah semua santri itu berkumpul dipondok maka mereka saling berdebat mengenai hal tersebut dikarenakan sebagian santri meyakini bahwa Mbah Amir tidak pergi kemana-mana dan mengajar seperti biasanya di pondok, sedangkan sebagian yang lainnya meyakini bahwa Mbah Amir pergi bersama mereka ke Palimanan untuk berta’ziyah dan menyolati jenazah.

Mbah Amir wafat pada hari selasa ba’da dhuhur tanggal 8 Robi’ul Akhir tahun 1357 H atau 1938 M. Bersamaan dengan pulangnya Mbah Amir kepada-Nya, seluruh jam dinding yang ada di rumah beliau, musholla dan pondok pesantren berhenti berdetak, begitu juga dengan matahari yang spontan redup tak bersinar, semuanya seperti mengiringi kepergian beliau. Selain itu, disebutkan pula bahwa ketika jenazah beliau hendak dimandikan, terdapat satu cincin yang tidak dapat dilepas oleh orang-orang yang berada disekitarnya kecuali oleh adik Mbah Amir sendiri yang sangat beliau cintai, yakni Nyai Sabatani. 

Data ini disarikan dari buku Manaqib Mbah Idris dan Mbah Amir, karya K.H. Abdul Halim ZW (Brebes: PP. Yanbu’ul Ulum. 2012)

"Pria Besar Tanpa Nama Besar"
 Muhammad Khoirul Umam
(Kader GP Ansor Simbangwetan)

Postingan terkait:

4 Tanggapan untuk "Sosok: Mbah Amir bin Idris Simbang Kulon"

  1. Tambah ilmu sejarah Islam khususnya di Buaran Pekl. Amazing

    ReplyDelete
  2. Sangat bermanfaat sahabat,, lanjutkan untuk menulis sejarah lagi

    ReplyDelete
  3. Untuk masalah murid, bisa ditambahkan satu ulama dari kudus, yaitu mbah yasin dari mbareng kudus

    ReplyDelete
  4. Assalamu'alaikum. Wr. Wb sy masih ada garis keturunan dengan mbah idris Lumpur, saya asli LUMPUR, sy pengen ziarah ke makam beliau kira" arahnya mana ya, sekarang domisili saya di jepara, mohon infonya terima kasih

    ReplyDelete