Pentingnya Menjaga Tali Silaturahim dalam Perspektif Hadis Nabi saw.

(Pengurus PR GP Ansor Simbangwetan "Showan" dan Bersilaturahim Kepada Kyai Syuriah PR NU Simbangwetan)

A.           Pendahuluan
Silaturahim amatlah tinggi kedudukannya di dalam Islam. Jika manusia ingin ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, maka jagalah dan sambunglah tali silaturahim. Dengan menanamkan dan memelihara nilai-nilai silaturahim dalam praktek kehidupan, niscaya jalan kesulitan akan terurai menjadi suatu ketenangan dan kenikmatan. [1]
Di dalam Islam, silaturahim merupakan salah satu pembahasan yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja ketika membahas mengenai kehidupan sosial kemasyarakatan mengingat perintah untuk menyambungnya datang langsung dari Allah swt melalui al-Qur’an dan juga Rasulullah saw melalui sabdanya atau Hadis.
Di dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan mengenai keharusan menyambung tali silaturahim sebagaimana yang terdapat dalam Surat an-Nisa’ ayat 1 yang juga dibarengi dengan perintah untuk selalu bertakwa kepada Allah swt.
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’ : 1).
Sedangkan di dalam hadis, Nabi saw tidak sekedar menyampaikan mengenai keharusan menjaga silaturahim saja, beliau mempertegasnya lebih lanjut dengan menyatakan bahwa seseorang yang senantiasa menjaga hubungan silaturahim akan dipanjangkan umurnya dan diperluas rezekinya, bahkan Nabi saw menerangkan orang yang dengan sengaja memutus tali silaturahim tidak akan masuk surga kelak di hari akhir. Di dalam tulisan ini, penulis akan  mencoba mengulas lebih jauh mengenai hadis Nabi saw yang berbicara mengenai keutamaan silaturahim tersebut.
B.            Pengertian Silaturahim
Silaturahim berasal dari kata shila yang berarti menghubungkan dan rahim yang berarti kasih sayang. Kata rahim merupakan salah satu nama Allah, yang dari nama itu pula terbentuk kata ramat. Oleh karena itu, secara sederhana dapat diakatakan bahwa silaturahim berarti aktivitas menyambungkan kasih sayang dengan harapan mendapat rahmat Allah swt atau dengan kata lain silaturahim memadukan antara hablun min Allah dan hablun min al-naas.
Menyambung tali silaturahim, selain menentukan terbukanya rahmat Allah, juga memiliki hikmah yang sangat besar seperti yang akan dijelaskan dalam hadis-hadis berikut ini seperti dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya. Begitu juga sebaliknya, terdapat ancaman yang tak kalah besar pula bagi orang-orang yang dengan sengaja memutuskan tali silaturahim, yakni tercabutnya rahmat Allah dan tidak akan dimasukkan ke surga oleh Allah swt.[2]
C.           Hadis Keutamaan Silaturahim dan Penjelasannya
(حديث مرفوع) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ، عَنْ عُقَيْلٍ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، قَالَ : إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ "[3]
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth'im berkata; bahwa Jubair bin Muth'im telah mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturrahmi." (HR. Bukhari).
Menurut Ibnu Hajar, Imam Bukhari menyebutkan di dalam kitab Al-Aadab al-Mufrad dari hadis Ibnu Abi Aufa, yang dinisbatkan kepada Nabi saw, إنّ الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع الرحيم (Sesungguhnya rahmat tidak turun kepada kaum yang diantara mereka ada orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan). Ath-Thaibi menyebutkan bahwa kemungkinan maksud “kaum” disini adalah mereka yang membantu si pelaku dan tidak berusaha mencegahnya, dan mungkin juga maksud “rahmat” disini adaah hujan. Hujan tidak dituunkan kepada manusia secara umum akibat buruknya perbuatan memutuskan hubungan kekuargaan.[4]
Sedangkan menurut Imam Nawawi, dalam memahami hadis ini dan semisalnya harus diartikan dengan dua arti, pertama, hadis ini berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan memutus silaturrahim tanpa sebab dan syubhat, sementara ia mengetahui keharamannya. Orang semacam ini telah kafir, abadi di dalam neraka dan tidak akan masuk surga. Kedua, ia tidak akan masuk surga bersama golongan pertama yang masuk surga dan dia akan disiksa terlebih dahulu dalam rentang waktu yang dikehendaki Allah swt.”[5]
(حديث مرفوع) حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْنٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : " مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "[6]
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma'an dia berkata; telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Sa'id bin Abu Sa'id dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi." (HR. Bukhari).
في أثره (Pada umurnya), maksudnya ajalnya, ajal dinamai atsar (jejak) karena ia mengikuti umur. Kata itu berasal dari bekas/jejak perjalanan di tanah. Apabila seseorang meninggal, maka tidak tersisa gerakannya sehingga jejak kakinya tidak berbekas di tanah lagi. Menurut Ibnu at-Tin, makna lahir hadis ini seolah bertentangan dengan ayat al-Quran Surat al-A’raf ayat 34, فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ  (Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak pula memajukannya). Untuk mengkompromikannya, dapat ditinjau dari dua sisi:
Pertama, tambahan umur yang dimaksud adalah tambahan dari keberkahan umur karena mendapatkan taufik kepada ketaatan, mengisi waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat baginya di akhirat, dan menjaganya dari perbuatan yang sia-sia. Serupa dengan ini apa yang disebutkan Nabi saw bahwa umur umatnya lebih pendek dibandingkan umat-umat terdahulu, maka Allah memberikan lailatul qadar kepada mereka.
Kesimpulannya, mempererat hubungan kekeluargaan menjadi sebab mendapat taufik dan hidayah kepada ketaatan dan dijaga dari kemaksiatan, maka setelah meninggal namanya tetap harum dan terkenang, seakan-akan dia belum meninggal. Diantara perkara yang bisa mendatangkan taufik adalah ilmu yang bermanfaat, sedekah yang terus mengalir serta keturunan yang shalih.
Kedua, tambahan umur yang dimaksud adalah dipahami dalam arti yang sebenarnya. Hal ini ditinjau dari segi ilmu malaikat yang ditugaskan mengurus umur manusia.
Adapun yang pertama sebagaimana diindikasikan oleh ayat, maka ia disnisbatkan kepada ilmu Allah, seakan-akan dikatakan kepada malaikat, “Umur fulan seratus tahun jika dia mempererat hubungan kekeluargaan dan enam puluh tahun jika dia memutuskannya”. Sementara telah ada dalam ilmu Allah apakah orang itu mempererat hubungan kekeluargaan atau memutuskannya. Maka apa yang ada dalam ilmu Allah tidak dimajukan dan tidak pula diakhirkan. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat, inilah yang mungkin bertambah dan berkurang, dan ini pula yang diisyaratkan dalam firman Allah surat ar-Ra’d ayat 39,  يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab [Lauh Mahfuzh] )”. Oleh karena itu, penghapusan dan penetapan tersebut ditinjau dari apa yang ada pada ilmu malaikat. Sementara apa yang ada dalam ummul kitab, itulah yang ada dalam ilmu Allah, maka tidak ada yang dihapus. Hal ini disebut Qadha al-Mubram (keputusan yang pasti), sementara yang satunya disebut Qadha Mu’allaq (keputusan yang terkait pada faktor tertentu). Namun, tinjauan yang pertama lebih sesuai dengan redaksi hadis di bab ini karena atsar (jejak) adalah yang mengikuti sesuatu. Apabila diakhirkan, maka sangat tepat bila dipahami dengan arti disebut-sebut kebaikannya sesudah orangnya meninggal”.  Ath-Thaibi berkata, “Tinjauan pertama lebih kuat, ini pula yang diisyaratkan perkataan penulis kitab al-Faa’iq”. Dia berkata, “Mungkin maknanya, Allah membiarkan peninggalan orang yang mempererat hubungan kekeluargaan dalam waktu yang lama di dunia, tidak cepat hilang sebagaimana peninggalan orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.”[7]
Sementara itu, Ibnu Faurak menegaskan maksud tambahan umur adalah dihilangkan gangguan terhadap orang yang berbuat baik dalam pemahaman maupun akalnya. Adapun ulama lain mengatakan yang lebih umum daripada itu mencakup keberkahan pada rezeki, ilmu dan lain sebagainya.[8]
(حديث مرفوع) حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي ابْنُ عُثْمَانَ ، قَالَ : سَمِعْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ أنّ رجلا ، قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ ؟ ، وحَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ أَسَدٍ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ ، وَأَبُوهُ عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، أَنَّهُمَا سَمِعَا مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ ، فَقَالَ الْقَوْمُ : مَا لَهُ مَا لَهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَبٌ مَا لَهُ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ " ذَرْهَا قَالَ : كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ .[9]
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami Syu'bah dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Utsman dia berkata; saya mendengar Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga." Dan telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Bahz bin Asad telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Ibnu Utsman bin Abdullah bin Mauhab dan ayahnya Utsman bin Abdullah bahwa keduanya mendengar Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub Al Anshari radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata; "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga." Orang-orang pun berkata; "Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah urusan orang ini." Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan sabdanya: "Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat, dan membayar zakat serta menjalin tali silaturrahmi." Abu Ayyub berkata; "Ketika itu beliau berada di atas kendaraannya." (HR. Bukhari).
أنّ رجلا  Laki-laki yang dimaksud adalah Abu Ayyub atau perawi hadis itu sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam Kitab Gharib al-Hadits. Ulama lain menyatakan bahwa pendapat itu keliru, dia berkata, “Seungguhnya Abu Ayyub hanyalah perawi hadis tersebut.” Tapi tanggapan ulama ini tidak tepat karena tidak ada halangan apabila perawi menyembunyikan dirinya karena maksud tertentu. Begitu pula tidak dapat dikatakan bahwa kemungkinan ini sangat kecil, karena di dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan bahwa laki-laki yang bertanya adalah seorang Arab Badui, sebab tidak ada halangan jika kisah tersebut terjadi lebih dari sekali. Maka laki-laki yang bertanya dalam riwayat Abu Ayyub adalah beliau sendiri berdasarkan perkataannya , “Sesungguhnya seorang laki-laki....” dan seterusnya.[10]
وَتَصِلُ الرَّحِمَ  maksudnya adalah menyantuni kaum kerabat dalam kebaikan. Menurut Imam an-Nawawi, maksudnya adalah berbuat baiklah terhadap semua kerabat yang memiliki hubungan darah denganmu sesuai kedaanmu serta kondisi mereka baik dengan memberi nafkah, mengirim salam, mengunjungi mereka dan lainnya.
Disebutkannya hal-hal ini secara khusus diantara jenis kebaikan lainnya, karena Nabi saw memperhatikan kondisi orang yang bertanya, karena sepertinya laki-laki yang bertanya memang kurang memperhatikan hubungan kekeluargaan, maka Nabi saw memerintahkannya untuk memperhatikan hal tersebut. Dari sini dapat disimpulkan tentang bolehnya mengkhususkan sebagian amal untuk seseoranng sesuai dengan kondisinya, serta menekankan suatu perbuatan kepadanya diantara perbuatan yang lain, baik karena sulitnya perbuatan itu atau karena sikapnya yang suka meremehkan perbuatan itu.[11]
(حديث قدسي) حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ ، أَخْبَرَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَمِّي سَعِيدَ بْنَ يَسَارٍ ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ خَلْقِهِ قَالَتْ : الرَّحِمُ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيعَةِ قَالَ : نَعَمْ ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ ؟ ، قَالَتْ : بَلَى يَا رَبِّ ، قَالَ فَهُوَ لَكِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ سورة محمد آية 22 " .[12]
Telah menceritakan kepadaku Bisyr bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Mu'awiyah bin Abu Muzarrid dia berkata; saya mendengar pamanku Sa'id bin Yasar bercerita dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Setelah Allah menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berkata; 'Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahim (Menyambung silaturahim).' Allah menjawab: 'Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu? ' Rahim menjawab; 'Tentu, wahai Rabb' Allah berfirman: 'ltulah yang kamu miliki.' Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? QS Muhammad: 22. (HR. Bukhari).
Al-Qadhi Iyadh berkata, rahim yang dimaksudkan disini yang mana ia bisa disambung, diputuskan dan diperlakukan dengan baik adalah arti maknawi atau abstrak bukanlah rahim yang berbentuk fisik atau konkret, yaitu hubungan kekerabatan dan nasab (garis keturunan) yang disatukan oleh rahim seorang wanita, sehingga antara satu dan lainnya saling berhubungan. Maka ketersambungan itu disebut rahim (silaturrahim). Rahim tidak mungkin dapat berdiri dan juga berbicara, sehingga penyebutan berdirinya rahim dan bergantungnya di arsy dalam hadis diatas adalah bentuk perumpamaan dan bentuk majaz atau metaforik saja, sebagaimana hal itu banyak dipergunakan oleh orang-orang arab. Sedangkan maksudnya adalah penegasan tentang keagungan kedudukannya, keutamaan orang yang menyambungnya, dan besarnya dosa yang ditanggung oleh orang yang memutuskannya. Karena itu kedurhakaan disebut sebagai pemutusan, seolah-olah dia memutuskan tali yang tersambung.
Al-Qadhi meneruskan, bisa juga diartikan bahwa malaikatlah yang berdiri sambil bergelantungan di atas arsy dan berbicara atas nama rahim dengan perintah dari Allah swt.
Dan lafadz الْعَائِذِ (orang yang berlindung) maknanya adalah, orang yang berpegang teguh dengan sesuatu, yang bersandar padanya dan meminta perlindungan darinya.
Ulama berkata, “Hakikat makna صلة  (menyambung) adalah mengasihi dan menyayangi. Jadi, صلة الله  adalah bentuk ungkapan akan kelembutan dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Kelembutan Allah pada hamba-Nya yaitu dengan kenikmatan-kenikmatan dan anugerah yang dapat menyejajarkan mereka denan penduduk langit dan melapangkan hati mereka untuk mengenal-Nya serta mentaati-Nya.
Al-Qadhi Iyadh menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa silaturrahim secara umum hukumnya wajib dan memutuskannya adalah maksiat dan dosa besar.” Dia berkata, “Hadis-hadis dalam bab ini menunjukkan hal ini. Tetapi silaturrahim itu bertingkat, sebagiannya lebih tinggi nilainya daripada yang lain. Tingkatan yang terendah dalam silaturrahim adalah saling sapa.  Untuk menyambung silaturrahim setelah tidak saling sapa adalah dengan berbicara, meskipun hanya mengucapkan salam”. Hal menyambung tali silaturrahim juga berbeda tingkatan tergantung tingkat kemampuan dan kebutuhan, ada kalanya wajib dan ada kalanya sunnah.  Seandainya seseorang menyambung silaturrahim dengan nilai-nilai sebagiannya saja, tidak sampai pada puncaknya, maka ia tidak disebut sebagai pemutus silaturrahim, meskipun ia mampu melakukan sampai yang puncak. Dan juga ia tidak layak disebut telah menyambung tali silaturrahim.
Al-Qadhi berkata, mereka berbeda pendapat terkait batasan kerabat yang wajib disambung tali silaturrahimnya. Sebagian kalangan brpendapat, yaitu setiap kerabat yang mahram (yang haram dinikahi). Sebagian kalangan lagi menyatakan bahwa rahim disini bersifat umum yang mencakup dzawil arham (kerabat), dalam bab warisan disamakan baik mahram ataupun tidak. Pendapat ini berdasarkan hadis, ثمّ أدناك أدناك  “Kemudian yang terdekat, lalu yang paling dekat”. Inilah perkataan yang dipilih oleh al-Qadhi dan pendapat kedua ini lah yang benar. Termasuk yang menguatkannya adalah hadis tentang penduduk Mesir, bahwa mereka memiliki hak perlindungan dan hubungan kekerabatan dan juga hadis yang artinya, “Sesungguhnya bakti kepada orang tua yang paling tinggi adalah kesediaan seseorang bersillaturrahim kepada teman dekat ayahnya”. Padahal mereka tidak ada pertalian kekerabatan sedikitpun. Wallahu a’lam.
Rasulullah saw bersabda kepada orang yang senantiasa menyambung tali silaturrahim dengan kerabatnya, tetapi mereka selalu memutuskannya,
لئن كنت كما قلت فكأنما تسفّهم الملّ ولا يزال معك من الله ظهير عليهم ما دمت على ذالك
“Jika kamu benar-benar seperti itu, maka seakan-akan kamu meniupkan abu panas di  muka mereka dan Allah senantiasa bersamamu untuk mengalahkan mereka selama engkau seperti itu.”
Kata الملّ artinya abu yang panas. Kata ظهير  artinya penolong yang akan membelanya dan akan mengalahkan lawan. Kata يجهلون artinya masa bodoh dan berbuat buruk, maksudnya adalah seolah-olah kamu memberi makan abu panas kepada mereka, dan ini adalah ungkapan kiasan atas apa yang akan menimpa mereka dari siksaan, bagaikan orang yang memakan abu panas yang merasakan perihnya abu itu, sementara orang yang berbuat baik kepada mereka tidak merasakan perih seperti itu. Bahkan sebenarnya mereka mendapat balasan dosa yang besar karena pemutusan tali silaturrahim itu, dan karena mereka justru membalas kebaikan dengan keburukan.
Ada yang mengatakan artinya adalah dengan kamu berbuat baik terhadap mereka sama saja dengan menghinakan dan merendahkan martabat mereka karena banyaknya kebikanmu itu dan buruknya perilaku mereka terhadap kamu, sebagaimana buruknya orang yang meniup abu yang panas. Dikatakan pula bahwa artinya adalah apa-apa dari pemberianmu yang mereka makan itu seperti abu yang panas yang membakar isi perut mereka.[13]
D.           Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Silaturahim
1.             Ta’aruf (mengenal).
Dengan adanya kelanggengan dalam bersilaturahim, maka akan muncul perasaan saling mengenal satu sama lain, dan secara teoritis suasana saling mengenal membuahkan rasa saling menghargai atau respect dalam menghadapi perbedaan yang ada, sehingga secara tidak langsung silaturahim juga dapat menghindarkan manusia dari permusuhan.
2.             Taaluf (hubungan yang penuh kelembutan)
Taaluf merupakan sebab-akibat dari timbulnya sikap ta’aruf, karena tanpa ada suasana saling mengenal, seseorang akan cenderung bersikap dingin dan agresif.
3.             Ta’awun (saling menolong)
Ta’awun adalah sikap yang dihasilkan dari hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Dengan terjalinnya tali silaturahim, maka dengan sendirinya perasaan peduli untuk saling menolong ini akan melekat pada diri seseorang.
4.             Taushiyah (saling berwasiat)
Manusia tak selamanya berada dalam kondisi kontrol penuh terhadap dirinya, tak jarang manusia khilaf dan lepas kendali. Maka dalam konteks inilah seseorang membutuhkan orang lain yang dapat menyadarkan dirinya, dan silaturahim merupakan salah satu media yang dapat menjaga perasaan saling menasehati tersebut tetap ada pada diri seseorang.
5.             Ukhuwah (persaudaraan)
Dengan terjalinnya tali silatuurahim yang kuat, maka akan terjalin pula sebuah hubungan persaudaraan yang kuat, yang penuh kelembutan, saling tolong menolong dan saling menasehati.[14]
Pada intinya, dengan terjainnya tali silaturahim, maka akan terjalin pula suatu komunikasi yang baik sebagai bentuk hubungan sosial antarumat manusia. Hubungan komunikasi sebagai bentuk hubungan sosial adalah suatu jalan kemudahan dalam mencari solusi atas permasalahan kehidupan yang ada. Selain itu, dengan silaturahim, tali ikatan hati pun akan tersambung pula, karena silaturahim bukan sekadar berkunjung dan bersalaman saja, tetapi bagi simpul pengikat dalam menyambungkan sesuatu yang putus atau berjarak seperti jarak yang memisahkan orang miskin dengan orang kaya.[15] 
E.            Kesimpulan
Dari penjelasan hadis-hadis diatas, dapat disimpulkan bahwa silaturahim merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan bermasyarakat agar dapat mewujudkan cita-cita sosial umat Islam yaitu Ukhuwah Islamiyyah secara keseluruhan.
Pentingnya menjalin tali silaturahim secara tersurat dapat dilihat dari sabda Nabi saw ketika beliau menjamin bahwa orang-orang yang mau melanggengkan silaturahim, maka hidupnya akan bahagia dikarenakan rahmat Allah swt selalu menanaunginya, serta dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya. Bahkan Nabi saw dalam sabdanya yang lain seolah-olah ingin mensejajarkan silaturahim dengan amalan wajib lainnya seperti menyembah Allah, medirikan sholat dan menunaikan zakat, yang mana itu berimplikasi bahwa keimanan seseorang tidaklah sempurna jika ia dengan sengaja memutus tali silaturahim yang ada, meskipun ia menyembah Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Lebih dari itu, Nabi saw juga secara tegas menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mau menjalin silaturahim tidak akan masuk surga
F.            Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari. terj. Amiruddin. Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 8. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari. terj. Amiruddin. Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 29. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail. 2008. Shahih Bukhari. Riyadh: Bayt al-Afkar.
An-Nawawi, Imam. 2011. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj. terj. Fathoni Muhammad dan Futuhal Arifin. Syarah Shahih Muslim. Jakarta: Darrus Sunnah.
Dwikomentari, Diaz. 2005. SoSQ (Solution Spiritual Quotient); Manajemen Solusi dan Spiritual. Jakarta: Pustaka Zahra.
Sobarna, Ayi. 2012. Islam Positif; Spirit Wacana Solusi Refleksi. Yogyakarta: Graha Ilmu.





[1] Diaz Dwikomentari. SoSQ (Solution Spiritual Quotient); Manajemen Solusi dan Spiritual. (Jakarta: Pustaka Zahra. 2005)., hlm 132.
[2] Ayi Sobarna. Islam Positif; Spirit Wacana Solusi Refleksi. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012)., hlm 79.
[3] Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih Bukhari. (Riyadh: Bayt al-Afkar. 1998)., hlm 1160.
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari. terj. Amiruddin. Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 29. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2008)., hlm 54.
[5] Imam an-Nawawi. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj. terj. Fathoni Muhammad dan Futuhal Arifin. Syarah Shahih Muslim. (Jakarta: Darrus Sunnah. 2011)., hlm 606.
[6] Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih Bukhari. (Riyadh: Bayt al-Afkar. 1998)., hlm 1160.
[7] Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari. terj. Amiruddin. Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 29. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2008)., hlm 56-58.
[8] Ibid., hlm 59.
[9] Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih Bukhari. (Riyadh: Bayt al-Afkar. 1998)., hlm 1160.
[10] Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari. terj. Amiruddin. Fathul Baari; Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 8. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2008)., hlm 11.
[11] Ibid., hlm 15.
[12] Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shahih Bukhari. (Riyadh: Bayt al-Afkar. 1998)., hlm 1161.
[13] Imam an-Nawawi. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj. terj. Fathoni Muhammad dan Futuhal Arifin. Syarah Shahih Muslim. (Jakarta: Darrus Sunnah. 2011)., hlm 604-608.
[14] Ayi Sobarna. Islam Positif; Spirit Wacana Solusi Refleksi. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012)., hlm 87.
[15] Diaz Dwikomentari. SoSQ (Solution Spiritual Quotient); Manajemen Solusi dan Spiritual. (Jakarta: Pustaka Zahra. 2005)., hlm 131.

Semoga Bermanfaat!

Muhammad Khoirul Umam
( Twitter @BukanGusMuwafiq )

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pentingnya Menjaga Tali Silaturahim dalam Perspektif Hadis Nabi saw."

Post a Comment