Salam sejahtera untuk kita semua...
Langsung saja...
Menurut K.H. Muhammad Mansur Nasri, LC, M.A Walimah adalah makanan
yg disediakan utk masyarakat sebagai pengabar atas rasa kebahagiaan yang
dirasakan setelah menikah.
Salah satu hikmah diselenggarakannya walimah adalah untuk
memberitahukan atau mengabarkan kepada masyarakat sekitar atas pernikahan yang
baru saja sah dilaksanakan secara hukum syar’i. Tujuan dari pemberitahuan
tersebut adalah agar dapat menghindarkan kedua pengantin tersebut dari fitnah
yang tertuju kepada mereka, dikarenakan
masyarakat sekitar sudah mengetahui bahwa mereka sudah resmi menjadi
suami istri.
Berdasar atas tujuan mulia tersebut, maka untuk mengadakan walimah
tidak perlu dengan sesuatu yang mewah, bahkan kesunnahan walimah dapat
tereduksi jika walimah tersebut diadakan melampaui batas dengan terlampau
bermewah-mewah an. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, yang artinya, “Adakanlah
walimah walaupun hanya dengan seekor kambing”. Dan perlu kita ketahui,
bahwa kambing pada zaman Rasulullah merupakan makanan yang paling sederhana.
Jadi, jika kita coba kontekstualisasikan hadis tersebut, dan coba kita terapkan
di daerah kita (Pekalongan), maka ayam atau roti, itu sudah cukup mewakili
seekor kambing sebagai manifestasi kesederhanaan yang dianjurkan Nabi saw,
karena tentu sederhana itu relatif, bergantung pada budaya atau adat istiadat
masyarakat sekitar. Dalam hal ini, yang ditekankan Nabi adalah yang penting ada
makanannya dalam acara walimah tersebut.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw, yang kurang lebih artinya, “dari
Anas Ra, ia berkata: “Rasulullah SAW pernah tinggal diantara Khaibar dan
Madinah selama tiga malam ketika menikah dengan Syafiah. Lalu aku mengundang
kaum Muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tidak terdapat roti dan
daging. Tetapi hanya digelar tikar lalu diletakkan dikurma, keju dan samin
diatasnya. Semua hadirin makan dengan puas.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan, bahwa untuk
mengadakan walimah tidak perlu dengan bermewah-mewahan dan mengeluarkan uang
banyak, apalagi sampai terlilit hutang karena memaksakan agar walimah dapat
diadakan dengan mewah, barangkali karena terpengaruh faktor gengsi.
Nabi sendiri mengadakan walimah pada salah satu istri beliau, yakni
Zaenab bin Jahsy. Nabi mengadakan walimah tersebut dengan sangat sederhana,
jauh dari kata mewah. Karena makanan yang dihidangkan pada acara walimah
tersebut pun hanya dengan memotong seekor kambing. Sebagaimana yang disebutkan
dalam hadis berikut ini:
عن
أنس رضي الله عنه قال : ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أَوْلَمَ عَلَى
امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْ لَمَ عَلَى زَيْنَبَ , فَإِنَّهُ ذَبَحَ شَاةً
“dari
Anas Ra, ia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW mengadakan
walimah untuk istrinya seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau
menyembelih seekor kambing.” (HR.
Bukhari Muslim).
Ada beberapa ketentuan dalam walimah, diantaranya adalah adanya
akad nikah, adanya makanan jamuan, dan waktu pelaksanaannya adalah pas akad
atau setelah akad, atau ketika dukhul atau sesudah dukhul.
Walimah adalah salah satu produk budaya islam. Karena sebelum
datangnya islam, orang Arab jahiliyah tidak mengenal adanya walimah pernikahan.
Dan setelah islam datang, mereka mulai mengenal apa itu walimah pernikahan
melalui anjuran dan praktek walimah dari Nabi saw sendiri. Dan kemudian pada perkembangan selanjutnya, mayoritas
orang Arab, walimah diadakan ketika sang pengantin sedang dukhul.
Dalam tradisi pesta pernikahan umat islam di Pekalongan, umumnya
ada tiga acara utama yang mengundang para kerabat dan masyarakat sekitar untuk
menikmati makanan pesta pernikahan. Yang
pertama adalah ramah tamah, yakni suatu acara jamuan makan yang diselenggarakan
sehari sebelum akad nikah. Dalam hal ini, jika kita lihat ketentuan waktu
walimah diatas, maka acara ramah tamah tidak bisa dikategorikan sebagai walimah
karena diadakan sebelum adanya akad, apalagi dukhul.
Kemudian yang kedua, adalah undangan untuk menghadiri atau
menyaksikan akad nikah serta mendoakan kepada para mempelai secara langsung.
Dalam istilah lokal acara ini sering disebut dengan istilah “walimahan atau
ngambeng”. Melihat ketentuan waktu pelaksanaan walimah diatas, maka
acara walimahan atau ngambeng ini dapat dikategorikan sebagai
walimah pernikahan karena diadakan bersamaan dengan adanya akad nikah. Tidak
adanya acara menikmati makanan jamuan secara bersama-sama ditempat tidak
mengurangi substansi walimah sedikitpun, karena ini hanyalah faktor budaya atau
tradisi masyarakat setempat yang memandang lebih maslahat untuk membawa pulang
makanan yang sudah disediakan atau yang biasa disebut “ambeng atau berkat”
agar bisa dinikmati bersama dengan keluarga masing-masing.
Dan yang terakhir adalah resepsi pernikahan. Adalah suatu acara
dimana kedua mempelai dirias sedemikian rupa dan dipertontonkan diatas panggung
kepada masyarakat dengan maksud berbagi atas kebahagiaan yang dirasakan. Dalam
hal ini, karena dalam acara tersebut terdapat jamuan makan dan diadakan setelah
akad nikah pula, maka resepsi dapat dikategorikan sebagai walimah pula
sebagaimana acara ngambeng diatas. Karena dalam ranah praksisnya di berbagai
tempat, walimah memang sering diadakan lebih dari satu hari. Dan hal ini sesaui
dengan apa yang dilakukan oleh Nabi sendiri, sebagaiman yang disebutkan dalam
suatu hadis yang artinya, “Rasulullah SAW telah menikah dengan Syafiyah,
beliau jadikan maskawinnya adalah pembebasan (dari tawanan perang Khaibar) dan
beliau mengadakan walimah (pesta pernikahan) selama tiga hari.” (HR. Abu
Ya’la dengan sanad baik, terdapat dalam Shahih Bukhari.)
Dalam acara resepsi pernikahan ini pula sering diadakan hiburan
sebagai selingan yang berupa penampilan-penampilan grup musik yang
bermacam-macam. Jika yang demikian itu masih dalam batas wajar dan tidak
menyimpang dari nilai-nilai islam, maka hal tersebut merupakan salah satu
bentuk kesunnahan pula, yang sifatnya tambahan saja, bukan suatu hal yang
pokok. Namun, jika hiburan tersebut sudah melampaui batas, apalagi sampai
mempertontonkan auarat didepan umum yang mengarah kepada kemaksiatan, maka itu
jelas sudah berlebihan, dan segala hal yang berlebihan itu cenderung negatif
dan dilarang dalam hukum islam.
Begitulah kiranya Kontekstualisasi Hadis Tentang Walimah menurut K.H.
Muhammad Mansur Nasri, LC, M.A.
Data ini penulis dapatkan melalui wawancara secara langsung dengan
beliau di Asrama Putra Madrasah Aliyan Negeri Insan Cendekia, Buaran,
Pekalongan, pada tanggal 11 November 2015 pukul 11.11 WIB.
Semoga Bermanfaat!
“Pria Besar Tanpa Nama Besar”
Muhammad Khoirul Umam
(Kader GP Ansor Simbangwetan)
Mencerahkan dan komplit. Sangat bermanfaat menambah khasanah Islam berbudaya di bumi Nusantara
ReplyDelete