Rumah Tangga Ideal dalam Perspektif Habib Sholahuddin al-Kaff Pekalongan




(Studi atas Kitab Riyadhus Shalihin babالرجال قومنا على النساء” Karya Imam Nawawi)
Dalam kehidupan berumah tangga, suami itu punya hak dan istri juga punya hak. Akan tetapi, Islam mengajarkan prinsip “yadul ulya khoirum minal yadis sufla”, bahwa memberi itu lebih mulia daripada yang meminta, artinya memberi hak itu lebih mulia daripada menuntut hak, lebih baik jadi fa’il jangan jadi maf’ul, lebih baik memuliakan daripada dimuliakan, karena orang yang memuliakanlah yang akan dimuliakan oleh Allah swt, sedangkan orang yang merasa dirinya mulia, maka kemungkinan besar ia akan masuk pada jurang kesombongan yang dibenci oleh Allah swt. Beliau mencontohkan apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu Abbas dan Sahabat  Zaid bin Harits, dimana kedua sahabat tersebut saling menghormati satu sama lain namun tidak mengharap untuk dihormati karena kerendahan hatinya.
الرجال قومنا على النساء , laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi wanita, بما فضل الله بعضهم على بعض karena Allah swt. mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain. Allah swt. memberikan kemuliaan kepada laki-laki yang tidak Allah berikan pada perempuan atau bisa disebut memang terdapat perbedaan secara biologis dan psikis diantara laki-laki dan perempuan.
Dengan kelembutan hatinya, menurut beliau bahwa perempuan sebenarnya kurang pas dijadikan sebagai pemimpin karena kecenderungan sifat “pekewoh” atau serba merasa tidak enakan terhadap orang lain yang melekat pada dirinya.
وبما أنفقو من أموالهم  dan juga karena laki-laki itu menafkahkan من أموالهم dari mereka فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّه wanita yang shalih yaitu wanita yang taat kepada Allah, menjaga, memelihara, ketika ghaib maksudnya ketika suaminya tidak ada di tempat.
Hafidh bil ghaib, ketika tidak ada suaminya. Jika sikap hafidhat-nya istri dikarenakan  suaminya berada disekitarnya maka hal tersebut wajar, akan tetapi jika suaminya ghaib, tidak berada disekitarnya, maka sikap hafidhat-nya istri tersebut yang ditekankan, karena begitulah salah satu ciri-ciri dari wanita shalihah.
Bima fadlalallah, seorang istri wajib menjaga sesuatu yang Allah swt perintahkan untuk menjaganya, seperti dilarang mengajak lelaki yang selain muhrimnya masuk ke dalam rumahnya.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله سلى الله عليه وسلم: إذا دع رجل امرعته ‘لى فراشه فلم تأته فتاب غضبنا عليها لعنتها الملإكت حتى تصبه.
وفي روايت لهما: إذا تابت امرأة جاهرة فراش زوجها لعنتها الملإكت حتى تصبه.
Hadis pertama, apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjang maksudnya untuk berhubungan suami istri.
Apabila seorang istri menolak ajakan suaminya tersebut maka malaikat melaknatnya sepanjang malam atau dalam riwayat lain disebutkan tidaklah seorang suami yang mengajak istrinya ila firasyah kemudian istrinya tersebut menolak, maka yang dilangit murka padanya sampai suaminya tersebut memaafkannya.
Dalam menjelaskan hadis ini, jika fenomena tersebut memang kita alami dalam kehidupan berumah tangga, maka dalam hal ini kita sebagai seorang suami haruslah memaafkannya agar sang istri terhindar dari kemurkaan para penghuni langit karena memang sebetulnya hal tersebut bukanlah satu-satunya kewajiban dari seorang istri kepada suami.
Selanjutnya, beliau mencoba mengkaitkan hadis tersebut dengan fenomena yang ada pada masyarakat mengenai wanita karir. Menurut beliau, seorang wanita karir yang bekerja seharian demi membantu suminya dalam mencukupi kebutuhan keluarganya, maka ia dima’fu atau dimaklumi ketika menolak ajakan suaminya untuk berhubungan pada malam hari dikarenakan kelelahan. Jika seorang suami tetap memaksakan istrinya yang sedang merasa kelelahan untuk berhubungan, maka suami tersebut telah berbuat dholim terhadap istrinya. Wallahu a’lam bisshowab.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أيض قال: قال رسول الله سلى الله عليه وسلم: الامرعته لا تصوم زوجها شاهد إلا بإذنه, ولا تأذن في بيته الا بإذنه.
Hadis kedua, seorang istri, la yahil, tidak diperkenankan, tidak dihalalkan berpuasa sementara suaminya berada disekitarnya atau tidak sedang bepergian, illa biidznih, kecuali atas dasar izin dari suaminya. Jika suaminya tidak mengizinkannya, maka tidak diperkenankan untuk berpuasa atau diganti dengan hari yang lain lagi. Lain halnya ketika suaminya sedang tidak berada di rumah karena bepergian jauh, maka tanpa seizinnya pun seorang istri dapat melaksanakan ibadah puasa. Beliau menegaskan bahwa esensi atau maksud yang hendak dituju dari izinnya seorang istri kepada suami ketika hendak berpuasa adalah agar seorang istri menjadi siap dan tersedia jika suaminya meminta untuk berhubungan suami istri karena pahala yang paling besar bagi seorang istri adalah kesiapannya kepada suaminya.
Lebih lanjut, beliau menggaris bawahi bahwa seorang suami juga tidak diperbolehkan mencatut hadis tentang wajibnya seorang istri taat kepada suaminya ini sebagai landasan atau pegangan dirinya dalam berlaku dholim dan semena-mena terhadap istrinya.
ولا تأذن في بيته الا بإذنه., seorang istri tidak diperkenankan memberikan izin  kepada orang lain untuk masuk ke dalam rumahnya, kecuali atas dasar izin suaminya. Wallahu a’lam bisshowab.

Data ini disarikan dari Kajian Hadis Kitab Riyadhus Shalihin yang dipimpin oleh Habib Sholahuddin al-Kaff  pada 9 desember 2016 ba’da Maghrib awal di Aula Lantai 2 Masjid Raudlah Pekalongan.
Semoga Bermanfaat!
Semoga beliau Habib Sholahuddin al-Kaff senantiasa dikaruniai Allah swt kesehatan, keberkahan dan umur yang panjang, aamiin yaa robbal 'alamiin...

Muhammad Khoirul Umam
(Ansor Simbangwetan)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Rumah Tangga Ideal dalam Perspektif Habib Sholahuddin al-Kaff Pekalongan"

Post a Comment