Sosok: Syaikh Abdushamad al-Palimbani




Ada beberapa ulama utama Indonesia-Melayu yang berasal dari berbagai wilayah dan kelompok etnis di Nusantara pada periode abad kedelapan belas hingga awal abad kesembilan belas. Sebagian dari mereka datang dari wilayah Palembang di Sumatera Selatan. Yang paling penting diantara mereka adalah Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Abdus Shamad al-Palimbani, Kemas Muhammad bin Ahmad dan Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin. Selanjutnya adalah Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari dari Kalimantan Selatan, Abdul Wahhab al-Bugisi dari Sulawesi, abdurrahman al-Mashri al-Batawi dari Batavia dan Dawud bin Abdullah al-Fatani dari wilayah Patani (Thailand Selatan). Meski informasi mengenai sebagian diantara para ulama ini sangat minim, karir dan ajaran mereka menjelaskan bahwa mereka terlibat baik secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama. Jika digabungkan, mereka merupakan ulama penting di Nusantara pada abad ke-18 M.

Dalam hal ini, tulisan ini hanya akan membahas mengenai dua tokoh utama dan paling menonjol diantara para ulama lainnya di Palembang, yakni Syaikh Abdus Shamad dan Syaikh Aqib bin Hasanuddin (yang akan dibahas pada edisi tulisan yang selanjutnya). Meski Azyumardi Azra tidak menyebut nama Syaikh Aqib sebagai salah satu ulama paling penting pada abad ke-18, namun menurut Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Aqib lah ulama yang paling banyak periwayatannya diantara 130 ulama hebat se-Nusantara. Hal ini berarti kehebatan dari seorang Syaikh Aqib, khususnya sebagai seorang Muhaddits Nusantara tidak dapat dipungkiri lagi, meski riwayat hidup beliau tidak begitu jelas karena minimnya referensi yang membahas riwayat hidup beliau baik dari kitab-kitab ulama terdahulu, buku, jurnal, maupun skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya, tidak seperti koleganya, Syaikh Abdusshamad yang riwayat hidupnya cukup lengkap disajikan di berbagai sumber, terutama tulisan-tulisan yang membahas mengenai ulama-ulama tasawuf Nusantara.
Biografi Syaikh Abdushamad al-Palimbani
 Menurut sumber-sumber melayu, nama lengkap al-Palimbani adalah ‘Abd al-Shamad bin ‘Abd Allah al-Jawi al-Palimbani. Tetapi sumber-sumber Arab menamakanya Sayyid ‘Abd al-Shamad bin ‘Abd al-Rahman al-Jawi.
Menurut tarikh salasilah negeri Kedah yang di kutip oleh Azumardi Azra, al-Palimbani dilahirkan sekitar 1116/ 1707 di Palembang dan ayahnya adalah seorang sayyid, sedangkan ibunya seorang wanita Palembang. Ini menguatkan sumber-sumber Arab yang mengatakan al-Palimbani adalah seorang sayyid. Ayah al-Palimbani dikatakan berasal dari San’aa, Yaman. Dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah, di Semenanjung Melayu. Selanjutnya dia ditunjuk menjadi Qadhi Kesultanan Kedah. Sekitar 1112/ 1700 dia pergi ke palembang, dimana ia menikahi wanita setempat dan kembali ke Kedah dengan putranya yang baru lahir yaitu al-Palimbani. Dikatakan al-Palimbani mendapatkan pendidikan awalnya di Kedah dan Patani, barangkali di sebuah pondok (lembaga pendidikan tradisional islam setempat). Dikemudian hari ayahnya mengirimnya belajar ke Arabia.
Al-Baythar menyatakan al-Palimbani meninggal setelah 1200/ 1785 tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203/ 1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur “Sayr al-Salikin”. Menurut Azyumardi Azra, al-Palimbani memantapkan karirnya di Haramayn dan tidak pernah kembali ke Nusantara. Namun ia tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan kaum muslim di wilayah melayu indonesia. Di Haramayn, al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawa dan menjadi kawan seperjuangan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, ‘Abd al-Rahman al-Batawi dan Dawud al-Fatani. Keterlibatannya dalam komunitas Jawi membuatnya tetap tanggap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara.
Guru- Guru Syaikh Abdushamad al-Palimbani
Salah satu guru al-Palimbani adalah al-Muradi yang terkenal dengan kamus biografi 4 jilidnya “Silik al-Durar”. Dia hidup sezaman dengan al-Palimbani. Al-Jabarti, kawan baiknya menyatakan bahwa al-Muradi terutama tinggal di Damaskus, tetapi dia banyak melakukan perjalanan termasuk ke Haramayn untuk mengumpulkan informasi mengenai para ulama yang hendak dituliskanya dalam kamus biografinya. Selama dalam perjalananyan al-Muradi tidak hanya menambah pengetahuannya tetapi juga mengajar murid-murid, karena itu sangat mungkin al-Palimbani mengambil kesempatan dari kunjungan al-Muradi ke Haramayn untuk belajar dengannya.
   Meskipun al-Muradi dikenal terutama sebagai ahli sejarah. Al-Jabarti meriwayatkan bahwa ia adalah “tiang syariat”  dan “rumah pengetahuan”  di Syiria di masa hidupnya, dia menguasai sepenuhnya baik ilmu lahir maupun ilmu batin sebagimana pula di kemukakan  al-Bagdadi, ia adalah mufti madzhab Hanafi di Damaskus dan seorang syaikh Naqsabandi. Dia mempunyai hubungan dan koneksi luas dengan para ulama utama dalam jaringan seperti Murtadho al-Zabidi, bukan hanya karena ia bertemu dengan mereka dalam urusan mengumpulkan data biografi mereka tetapi yang lebih penting lagi adalah karena keahlian hadis, ia dianggap sebagai isnad “unggul’’ dalam telaah hadis.
   Guru seanjutnya dari al-Palimbani, Muhammad (bin Ahmad) al-Jawhari (al-Mishri) adalah putra seorang muhaddis Mesir terkemuka, Ahmad bin al-Hasan bin ‘Abd al-Karim bin Yusuf al-Karimi al-Khalidi al-Jawhari al-Azhari (1096-1181 / 1685-1767). Muhammad al-Jawhari dikenal terutama sebagai ahli hadis, meski dia hidup terutama di Mesir, Muhammad al-Jawhari sering mengadakan perjalanan ke Haramayn, dimana di samping melakukan ibadah haji, dia juga mengajar murid-murid. Selain menerima hadis dari ayahnya, dia memiliki isnad-isnad yang banyak dicari dalam jaringan ulama dalam periode ini. Dia juga memiliki jaringan luas melalui telaah hadis hingga ke masa-masa terakhir ini .
   Ulama terakhir dalam daftar guru-guru al-Palimbani adalah Atha’ Allah  al-Azhari al-Mashri al-Makki yang dikemukakan sebelum ini sebagai guru Ibrahim al-Ra’is Atha’ Allah adalah muhadis ternama dan kawan baik Muhammad al-Sammani, Muhammad al-Jawhari dan Murtadho al-Zabidi. Al-Zabidi bahkan memasukkan ‘Atha’ Allah dalam daftar gurunya yang banyak itu, tampaknya. Setelah menyelesaikan pendidikaya di Univeritas al-Azhar dikemudian hari Atha’ Allah pindah ke Mekkah atau dalam istilah al-Kattani dia adalah “Nazil al-Haramayn”, dimana dia sangat aktif mengajar. Diantara murid-muridnya adalah Abu al-Hasan al-Sindi al-Shagir dan Shalih al-Fulani dan sejumlah ulama Yaman, seperti Muhammad al-Jawhari. Atha’ Allah dianggap sebagi isnad unggul dalam telaah hadis.
Karya Intelektual Syaikh Abdus Shamad
Semasa hidupnya, Al-Palimbani adalah ulama yang produktif menghasilkan karya tulis, baik dalam bahasa melayu maupun bahasa arab. Karya-karya tersebut berkaitan dengan persoalan tauhid, tasawuf, dan juga anjuran untuk berjihad. Menurut Drewes, Al-Palimbani setidaknya menulis tujuh buah, sementara Cuzwain menambahkan sebanyak satu buah, sehingga kesemuanya berjumlah delapan buah.
Kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut:
1.             Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin
Ditulis pada 1778 M. Kitab ini, berbahasa melayu dan merupakan terjemahan dari Bidayat al-Hidayat karya Imam al-Ghazali.
2.             Sair al-Salikin ila Ibadat Rabb al-Alamin (1779 M)
Kitab ini berbahasa melayu dan merupakan terjemahan dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali. Akan tetapi, al-Palimbani tidak sekedar menterjemahkkan kedua kitab Al-Ghazali begitu saja, namun ia mencoba untuk memberikan wacana dan warna lain. Sebab, ternyata dalam kitab tersebut al-Palimbani memasukkan sumber-sumber dari kitab Ibnu Arabi, Al-Jili, dan Syamsuddin al-Sumatrani. Bahwa dalam “Sair al-Salikin” juga disebut ajaran martabat tujuh dari Al-Burhanpuri. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Al-Palimbani mencoba mengompromikan antara tasawuf Ghazaki dengan tasawuf  Arabian.
3.             Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Imam al-Mukminin
Kitab ini berbahasa melayu yang ditulis pada 1774 M. Kitab ini ditulis agar masyarakat tidak tersesat dan tidak salah paham, maka ia juga menulis Tuhfah ar-Raghibin yang memperingatkan pembaca agar tidak tersesat dari berbagai aliran dan paham yang menyimpang dan sesat seperti aliran wujudiyah mulhid. Menurut kesimpulan Drewes, kitab ini ditulis atas perintah Sultan Palembang (Sultan Najmuddin atau Sultan Bahauddin)
4.             Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah
Kitab ini berbahasa arab dan berisi anjuran untuk jihad fi sabilillah menghadapi penjajah. Kitab ini ditulis sebagai jawaban adanya penjajahan oleh Bangsa Barat yang memang pada masa tersebut sedang terjadi di Nusantara.
5.             Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat at-Tauhid
Ditulis dalam bahasa melayu berisi tentang kalimat-kalimat tauhid. Diselesaikan di Makkah pada 1764 M.
6.             Al-Urwat aL-Wutsqa Wa Silsilat Uli Al-Ittiqa
Kitab ini berbahsa arab yang berisi tentang wirid-wirid
7.             Ratib Abdal Shamd
8.             Zadd al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-Alamin
Karya ini adalah ringkasan ajaran tauhid yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad Al-Saman.
Syaikh Abdus Shamad bin Abdirrohman al-Palimbani merupakan salah satu ulama Nusantara yang paling berpengaruh dalam periode Abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Meski beliau lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf yang mengembangkan pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali dan Ibnu Arabi, namun menurut Syaik Yasin al-Fadani, beliau merupakan ulama hadis se-Nusantara dengan periwayatan terbanyak kedua setelah Syaikh Aqib al-Palimbani atau guru beliau sendiri.

Selain itu, Syaikh Abdus Shamad juga mempunyai beberapa guru terkemuka dalam bidang hadis, seperti Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri yang merupakan putra seorang muhaddits Mesir terkemuka yakni Ahmad bin Hasan bin Abdul Karim bin Yusuf al-Karimi al-Kholidi al-Jauhari al-Azhari (1096-1181 H), juga murid dari al-Muradi yang dikenal sebagai ahli hadis yang mempunyai isnad unggul dan Atha’ Allah bin Ahmad al-Azhari al-Mashri al-Makki seorang muhaddits ternama. Jadi, status Syaikh Abdus Shamad sebagai ahli hadis ternama di Nusantara (selain sebagai ahli tasawuf) tidak terbantahkan lagi.

Semoga Bermanfaat!

“Pria Besar Tanpa Nama Besar”
Muhammad Khoirul Umam
(Kader GP Ansor Simbangwetan)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sosok: Syaikh Abdushamad al-Palimbani"

Post a Comment